PUSTAKA ILMU
Kapan lagi kalau bukan sekarang mencari ilmu pengetahuan
Sabtu, 21 April 2012
Senin, 13 Februari 2012
KONSTRUKSI AL-UMURU BI MAQASIDIHA الأمور بمقاصدها
Oleh: Makmun Rasyid
1)
Pendahuluan
Niat menjadi syarat mutlak bagi kita semua dalam segala aspek
perbuatan, niat akan menentukan kualitas individu tertentu. Ini adalah sebuah hal
mudah tapi tidak menutup kemungkinan orang selalu mengabaikan hal ini. Kajian
ini akan membahas apa (ontology), bagaimana (epistemology) dan
untuk apa (aksiology) niat itu.
Kaidah yang dibahas dalam makalah ini adalah salah satu dari kelima
kaidah yang ada. Al-Umuru
bi Maqasidiha (perkara-perkara
itu tergantung kepada maksudnya atau niatnya) adalah tema yang cukup menarik
perhatian untuk segala aspek. Betapa
pentingnya sebuah dorongan (motivation) yang ada dalam diri seseorang
ketika ingin bekerja. Segala pekerjaan, perbuatan ataupun yang hal lainnya
tidak akan memberikan pengaruh yang cukup signifikan jika tidak adanya sebuah
motivasi di dalam diri seseorang. Motivasi bisa diidentikkan dengan niat dalam
hal sama-sama bisa menjadi pendorong untuk melakukan sesuatu. Namun, niat lebih
kompleks daripada motivasi, sebab niat itu menyatunya keinginan yang kuat(Azimah),
rencana yang matang, dan dibarengi dengan aksi atau perbuatan. Meski demikian,
membangun sebuah motivasi yang benar sama dengan memasang niat yang benar dan
tulus, agar ia juga terdorong untuk bekerja dengan benar.[1]
2)
Ontology
a. Secara Bahasa
Kata النية
dengan tasydid pada huruf ya’ adalah bentuk masdar dari
kata kerja nawa-yanwi. Dan inilah yang terkenal dikalangan ahli bahasa.
Niat adalah syarat bagi semua amalan
dalam ibadah dengan niat akan diketahui (virtue) baik dan buruknya
amalan.[2]
Orang yang berniat adalah orang yang
bertekad bulat atau berketetapan hati untuk mengarah pada sesuatu, yaitu
bermaksud untuk melakukan suatu tindakan dan arah yang dituju.[3]
النية فتربيط بالمقاصد
Niat adalah memiliki hubungan atau
memiliki keterkaitan dengan tujuan atau maksud.[4]
أنما
الأعمال بالنيات وأنما لكل أمرئ ما نوى, فمن كانت هجرته الى الله ورسوله فهجرته
الى الله ورسوله, ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته الى ماهجر
اليه. (متفق عليه).
Nilai suatu amal perbuatan sangat
ditentukan oleh niat, dan setiap orang ditentukan oleh niatnya. Barangsiapa
yang hijrahnya Karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan
Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau
karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana)
yang dia niatkan.[5]
Melalui hadits diatas, wisdom
(hikmah) yang kita dapat bahwasanya niat mempunyai eksistensi yang sangat
penting dalam kehidupan umat Islam. Niat menjadi asas utama penerimaan sesuatu
amalan itu sama ada diterima atau ditolak oleh Allah. Sekiranya sesuatu amalan
itu dilakukan secara betul dari segi tata caranya namun salah dari segi
niatnya, maka ia tidak diterima oleh Allah. Atau juga sesuatu amalan itu betul
dari segi niatnya, tetapi salah dari segi tata caranya, ia juga menjadi sia-sia
di sisi Allah.
ومن يرد ثواب الدنيا نٶته منها ومن
يرد ثواب الأخرة نؤته منها[6]
Barangsiapa yang menghendaki pahala
dunia niscaya kami akan berikan kepadanya pahala dunia dan barangsiapa yang
menghendaki pahala akhirat niscaya kami akan berikan pula kepadanya pahala
akhirat.
b. Secara Terminology
Niat adalah mengoreintasikan ketaatan diri kepada Allah
dalam mewujudkan tindakan.[7]
Al-Mawardi mengatakan bahwa niat adalah maksud yang
mengiringi suatu tindakan. Begitu pula Imam Haramain ia menukil bahwa niat
termasuk kategori maksud ( القصد ( dan keinginan (الإرادة).
Mengingat niat pada dasarnya adalah maksud atau kesengajaan,
maka tidak ada yang keluar darinya kecuali perbuatan orang linglung, gila, dan
segala sesuatu yang tidak berakal seperti hewan dan binatang.[8]
Imam Abu Ubaidah berkata: Taka ada satu Hadits yang lebih
kaya dan banyak faidahnya daripada Hadits niat. Begitu juga Imam as-Syafi’i,
Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, ad-Daruquthni dan lainnya sepakat bahwa Hadits
niat itu menempati sepertiga dari seluruh ilmu pengetahuan. Pendapat yang sama
pernah diulas oleh Imam al-Baihaqi sebagai berikut: segala aktivitas manusia
itu adakalanya berpangkal di hati sanubari, pada lisan dan adakalanya pada
anggota badan. Niat yang berpangkal di hati sanubari adalah aktivitas kejiwaan.
Dan ini lebih baik daripada aktivitas yang berpangkal di lisan dan anggota
badan. Mengapa? Niat jika setelahnya tidak ada tindakan berupa instrumentalitas
lebih baik daripada adanya tindakan instrumentalitas tanpa diiringi niat. Sebagaimana
sabda Nabi Muhammad Saw:
نية المؤمن خير من عمله (رواه
الطيرانى)
Niat orang mukmin itu lebih baik daripada amal perbuatannya
saja.[9]
Dalam kitab Syi’ah Imamiyah dinyatakan bahwa niat adalah
keinginan yang memberikan efek pada terjadinya suatu tindakan sehingga tindakan
tersebut menjadi tindakan yang dipilih. Inilah arti dari orang-orang yang
menginterpretasikannya (menafsirkan) sebagai maksud yang diekspresikan oleh
pendapat para pakar bahasa. Dan dapat pula diinterpretasikan dengan kemauan
kuat (‘azm).[10]
Kesimpulan dari kesemuan istilah yang ada sebenarnya memiliki perbedaan dari segi tekstualitas
semata. Namun dari segi substansial memiliki kesamaan.
3)
Epistemology
a. Tempat Niat
Tempat niat adalah hati, karena hati adalah tempat akal,
keinginan, tendensi (kecenderungan) dan keyakinan. Ada juga sebagian
kelompok yang menyatakan bahwa niat terletak di otak bukan dihati. Atas asumsi
diatas maka niat terletak di akal bukan di hati.[11]
Mereka yang mengatakan bahwa niat terletak di akal dengan
berargumentasi sebagai berikut:
ختم الله على قلوبهم وعلى سمعهم وعلى
أبصارهم غشوة ولهم عذاب أليم.
Artinya: Allah telah mengunci mati hati mereka dan
pendengaran mereka dan penglihatan mereka ditutup, dan bagi mereka siksa yang
amat berat.[12]
b. Waktu Niat
Jika suatu perbuatan hukum terdiri dari beberapa bagian,
seperti wudhu dan shalat maka niatnya hanya dilakukan pada perbuatan yang
pertama sedangkan selanjutnya tidak membutuhkan adanya niat lagi.[13]
Waktu niat menurut kalangan ulama madzhab Maliki adalah awal
dimulainya wudhu tersebut. Maka jika pada saat membasuh sebagian anggota tubuh
tanpa didasari niat maka wudhu’nya batal.
Menurut kalangan ulama madzhab Hanafi dan Syafi’i waktu niat
pada saat awal mambasuh salah satu bagian wajah.
Menurut madzhab Hanbali bahwa kewajiban niat pada waktu
berkumur karena menurut mereka berkumur adalah awal dari kewajiban-kewajiban
wudhu.
c. Wisdom (hikmah) dari disyari’atkannya niat
Wisdom dari disyari’atkannya maksud atau niat
dalam segala aspek perbuatan menginstruksikan bahwa ada sesuatu yang tersirat
dari kata niat, yaitu menyimpan sebuah nilai yang tinggi, bahkan mujtahid Imam
Syafi’i dan lainnya menyatakan bahwa niat merupakan sepertiga dari ilmu
pengetahuan yang ada.
Kaidah ini juga mengindikasikan
bahwa semua perbuatan yang bersifat ibadah ataupun yang bersifat muamalah
didasarkan kepada maksud atau niat ketika melakukannya. Hukum seseorang akan
ditentukan dengan niat yang ia ucapkan.
4)
Aksiologi
Tujuan disyari’atkannya niat untuk membedakan
antara perbuatan-perbuatan ibadah dengan perbuatan adat dan untuk menentukan
ibadah satu dengan yang lainnya.[14]
Dengan penyertaan niat, perbuatan-perbuatan berikut ini dapat dibedakan sebagai
perbuatan yang bersifat ibadah dan perbuatan yang bersifat adat kebiasaan:
Ø Ketika seseorang memberikan sebagian
hartanya kepada orang lain, namun tidak diiringi dengan niat membayar zakat,
bersedekah atau lainnya maka menurut adat atau ‘urf masyarakat harta tersebut
berstatus sumbangan social.
Ø Ketika menyembelih hewan ada
kemungkinan dimaksudkan untuk pesta bersama keluarga dan ada kemungkinan untuk
berkurban. Hanya niat yang menyertai perbuatan yang dilakukanlah yang akan
membedakan diantara kedua tujuan tersebut.[15]
Ø Seseorang yang berwudhu yang
dilandasi adanya niat maka akan berbeda dengan orang yang membasuh muka.[16]
Penjelasan mengenai kaidah yang dibahas dalam hal ini adalah
hukum yang menempel pada perbuatan yang dikerjakan seseorang tergantung maksud
atau niat yang ia tujukan.[17]
5)
Contoh Aplikatif kaedah
a. Orang yang mengambil anak yang
hilang karena tersesat – di anggap selamat dan tidak dikenakan dhaman (hukuman)
apabila anak yang diambilnya meninggal bukan karena kesalahannya yang disengaja
atau kelalaiannya. Hal ini apabila maksud dari pengambilannya untuk menjaga
anak tersebut dan akan mengembalikannya kepada pemiliknya. Adapun jika ia
mengambil anak yang hilang itu karena maksudnya untuk memiliki, maka dia di
anggap mengghashab jika anak temuannya itu mati atau cacat, sekalipun
meninggalnya bukan karena penganiayaan atau kelalaiannya. Karena, perbuatan ghasab,
sedangkan orang yang mengghashab secara mutlak dikenakan hukuman atas
apa yang di ghasab.[18]
b. Barang siapa menjual sesuatu atau
menceraikan istrinya di dalam hati tanpa mengucapkannya, maka ia tidak dihukumi
telah melakukan transaksi jual beli atau perceraian, meskipun ia secara lugas
menyatakan telah meniatkan demikian.[19]
Sebenarnya masih banyak lagi contoh
contoh kasus yang dapat dimasukan pada kaidah ini, namun kami rasa pada
pembahasan ini cukup dengan dua contoh saja sudah mewakili dari contoh contoh
kaidah yang lain.
6)
Syarat-syarat
niat
Jika
niat merupakan suatu ibadah, maka harus memenuhi 4 syarat yang mana tidak sah
jika salah satu dari syarat-syarat berikut tidak terpenuhi.
1.
Islam
Disyaratkan
bagi orang yang berniat adalah seorang muslim, karena niat merupakan ibadah dan
niat ibadah tidak sah jika dari orang kafir karena syarat sah diterimanya
sebuah ibadah adalah islam dan iman kepada Allah SWT.
2.
Tamyiz(Dapat
membedakan)
Maksud tamyiz di sini adalah
kekuatan otak untuk mengambil kesimpulan terhadap sebuah esensi. Maka tidak sah
ibadahnya anak kecil dan orang gila, karena akal merupakan tempat bergantungnya
sebuah taklif. Seperti dalam hadits rasul dikatakan:
رفع القلم عن ثلاث: عن النائم حتى
يستيقظ وعن الصبي حتى يبلغ وعن المجنون حتى يعقل أو يفيق[20]
“Diangkat sebuah hukum terhadap tiga
perkara: orang yang tidur sampai dia bangun dan anak kecil sampai dia baligh
dan orang gila sampai dia berakal atau sadar”
3.
Mengetahui
apa yang diniati [21]
Orang yang berniat harus mengetahui
apa yang diniatinya apakah itu fardlu ataukah sunnah, ibadah ataukah yang
lainnya, jika tidak mengetahui fardlu-fardlunya sholat atau wudlu maka tidak
sah apa yang dikerjakannya, tetapi yang tidak membedakan fardlu-fardlu dengan
yang sunnah, maka sah ibadahnya dengan syarat tidak menganggap sunnah hal-hal
yang sebenarnya fardlu.
4.
Tidak
bertentangan antara niat dan yang diniati
Maksudnya adalah tidak adanya
kontradiktif antara niat seseorang dengan apa yang akan dikerjakannya, maka
tidak orang yang berniat ibadah kemudian dia murtad. Begitu juga mengubah niat
fardlu dengan sunnah sebelum yang fardlu selesai, maka batal ibadahnya. Dan
juga dari suatu yang kontradiktif adalah ragu-ragu dan tidak ketetapan dalam
niatnya, tidak mampu terhadap apa yang diniati secara akal, syariat dan secara
social budaya.[22]
[1]. Kementerian
Agama RI, 2010 M/1431 H, at-Tafsir
Maudhu’I - Kerja dan Ketenagakerjaan, Bab.
Membangun Etos Kerja, Hal. 139.
[2]. النية شرط لسائر العمل بها الصلاح والفساد للعمل
[3].
Wahyu Setiawan,
M.Ag. 2009, Qawa’id Fiqhiyyah, Pustaka: Amzah, Hal. 28.
[4]. Syaikh ‘Ali
Maliki, 1384 H, Al-Asbah Wa
An-Nazhair Fi Al-Furu’, Hal. 35.
[5]. Shahih Bukhari
bi Syarhi al-Atsqalani, jilid. 1, Hal. 9.
[6]. Qs. Al-Imran
surat ke 3 ayat 145.
[7]. Wahyu
Setiawan, M.Ag. 2009, Qawa’id Fiqhiyyah, Pustaka: Amzah, Hal. 29.
[8]. Ibid.
[9]. Maksudnya
adalah amal perbuatan yang tidak ada kualitasnya dan tidak memiliki nilai virtue
(kebajikan).
[10].Menurut Ibnu
Abidin dalam hasyiyah-nya Niat
adalah nama suatu kehendak yang muncul, ‘azm adalah sesuatu yang
mendahului tindakan, sementara qashd adalah sesuatu yang berbarengan
dengan tindakan. Ibid, Hal. 31.
[11]. Wahyu Setiawan,
M.Ag. 2009, Qawa’id Fiqhiyyah, Pustaka: Amzah, Hal. 36.
[12]. Qs. Al-Baqarah
(2): 7.
[13].
Wahyu Setiawan,
M.Ag. 2009, Qawa’id Fiqhiyyah, Pustaka: Amzah, Hal. 37. Dikutib dari
kitab Nihayah al-Ihkam, X/122.
[14].
Prof. Dr.
Mukhtar Yahya, Prof. Drs. Fatchur Rahman, 1986, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh
Islam, Penerbit: PT. Al-Ma’arif Bandung, 490.
[16].
H. Abdul Mu’in
Saleh, 2009, Hukum Manusia Sebagai Hukum Tuhan, Penerbit: Pustaka
Pelajar, Hal. 206.
[17]. Dr. Abdul
Karim Zaidan, 2008, al-Wajiz – Kaidah Fikih Dalam Kehidupan Sehari-Hari,
Penerbit: Al-Kautsar, Hal. 9.
[19]. Prof. Dr. Nashr
Farid Washil dan Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, 2009, Qawa’id
Fiqhiyah, Amzah, Hal. 7.
[20]. Fiqh
sunnah, jilid ,1 Hal. 74.
[21]. DR. Abdul
Aziz bin Muhammad Azzam, Qawaid Fiqhiyah, Pustaka: Darul Hadits, Hal.
87.
[22]. Ibid, Hal
88.
Langganan:
Postingan (Atom)