Oleh: Makmun Rasyid
Muktazilah adalah salah satu aliran dalam
teologi Islam yang dikenal bersifat mengedepankan rasional dan liberal. Ciri utama yang membedakan aliran ini dari
aliran teologi Islam lainnya adalah pandangan-pandangan teologisnya yang lebih
banyak ditunjang oleh dalil-dalil 'aqliyah (akal) dan lebih bersifat
filosofis, sehingga sering disebut aliran rasionalis Islam. Muktazilah
didirikan oleh Wasil bin Atha' pada tahun 100 H/718 M.
Dr. Ibrahim Madkour menyebut orang-orang
Muktazilah sebagai pendiri lilmu kalam yang sebenarnya. Karena hampir setiap pemikiran penting
dalam ilmu kalam ditemukan landasannya di kalangan mereka. Muktazilah telah membahas sebagian problematika ilmu
kalam pada tahun-tahun pertama abad ke-2 H. mereka serius menggelutinya selama
satu setengah abad. Muktazilah merupakan aliran rasional yang
membahas secara filosofis problem-problem teologis yang tadinya belum ada
pemecahan.
Dengan nama studi tentang akidah, Muktazilah
sebenarnya juga membahas masalah moral, politik, fisika dan metafisika. Mereka
membentuk suatu pemikiran yang berkonsentrasi membahas masalah Tuhan, alam dan
manusia. Secara garis besar, aliran Muktazilah melewati
dua fase yang berbeda, yakni fase bani Abbasiyah yang berpusat di Baghdad dan
fase bani Buwaihi. Begitu
Dinasti Buwaihi ambruk aliran itupun tergeser dari panggung sejarah.
KEMUNCULAN
MUKTAZILAH
Muktazilah sebagai gerakan politik yang lahir
pada awal pemerintahan khalifah keempat yaitu masa khalifah Ali bin Abu Thalib.
Pada saat itu memang tidak semua sahabat mendukung kepada Ali bin Abu Thalib,
mereka yaitu Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awam, Sa’ad bin Abi Waqas,
Abdullah bin Ubaidillah dan Zaid bin Tsabit. Pemberontakan kepada kubu Ali yang
terjadi pada saat itu dipelopori oleh Talhah bin Ubaidillah dan Zubair bin
awam, ada juga yang bersikap netral[1]
yaitu dari penduduk Madinah dan sebahagian suku Tamimi seperti Mu’awiyah.
Mereka tidak melibatkan diri dalam bentrokan
antara pihak-pihak yang bertengkar dan banyak dari mereka berpaling kepada
pendalaman pengetahuan agama dengan otak dan
hati mereka. Kelompok itu disebut Muktazilah karena telah I’tazala
(memisahkan diri).[2]
Abad ke-2 Munculnya aliran Muktazilah dalam
paham teologi - sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan
aliran Murjiah mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar. Khawarij adalah sekte atau aliran ketiga dalam
islam, diluar Suni dan Syi’ah. Sedangkan aliran Murji’ah merupakan aliran Islam
yang tak sepaham dengan sekte khawarij. Menurut
orang Khawarij, orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin
lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara itu, kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin
yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi kedua pendapat
yang kontroversial ini, Wasil bin Atha' yang ketika itu menjadi murid Hasan Al
Basri, seorang ulama terkenal di Basra, Irak, mendahalui gurunya mengeluarkan
pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin
dan kafir.Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di
antara keduanya. Wasil bin Atha’ mengatakan di akhirat nanti tidak ada tempat
di antara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi
siksaan yang diperolehnya lebih ringan dari siksaan orang kafir.
Dalam Ensiklopedi Islam John L Esposito dalam
Ensiklopedi Oxford menyebutkan pendapat teolog yang dirintis Wasil bin
Atha’ berada ditengah-tengah pendapat Khawarij dan Murjiah.
Demikianlah pendapat Wasil bin Atha' yang
kemudian menjadi salah satu doktrin Muktazilah yakni al-manzilah baina
al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Setelah mengeluarkan
pendapatnya ini, Wasil bin Atha' pun akhirnya meninggalkan perguruan Hasan al-Basri
dan lalu membentuk kelompok sendiri. Kelompok itulah yang menjadi cikal bakal
aliran Muktazilah. Setelah Wasil bin Atha' memisahkan diri, sang guru yakni
Hasan al Basri berkata: ''I'tazala 'anna Wasil (Wasil telah menjauh dari
diri kita). Menurut Syahristani, dari kata i'tazala'anna itulah lahirnya
istilah Muktazilah. Ada lagi yang berpendapat, Muktazilah memang berarti memisahkan
diri, tetapi tidak selalu berarti memisahkan diri secara fisik.Muktazilah dapat
berarti memisahkan diri dari pendapat-pendapat yang berkembang sebelumnya,
karena memang pendapat Muktazilah berbeda dengan pendapat sebelumnya. Selain
nama Muktazilah, pengikut aliran ini juga sering disebut kelompok Ahl
al-Tauhid (golongan pembela tauhid), kelompok Ahl al-Adl (pendukung
faham keadilan Tuhan), dan kelompok Qodariyah. Pihak lawan mereka
menjuluki kelompok ini sebagai golongan free will dan free act, karena
mereka menganut prinsip bebas berkehendak dan berbuat.
Muktazilah (mu‘tazilah) secara
harfiah berarti kelompok yang terisolir (i‘tizâl).[3] Secara
terminologis, pendapat yang paling masyhur dan kuat menyatakan bahwa istilah mu‘tazilah
(muktazilah) digunakan untuk menyebut Washil bin ‘Atha’ dan para pengikutnya
yang diisolir oleh gurunya, Hasan al-Bashri, akibat isu al-manzilah bayn
al-manzilatayn.[4] Muktazilah
kadangkala disebut dengan Qadariah, karena isu al-qadr yang
dikemukakan oleh mazhab ini.[5]
Dalam dua versi laporan Ibn al-Nadim dikatakan:
Pertama, Muktazilah adalah sebutan yang diberikan oleh pengikut Hasan
al-Bashri kepada Washil. Laporan ini populer di kalangan Ahlus
Sunnah, seperti yang ditulis al-Baghdadi. Kedua, Muktazilah adalah
sebutan yang digunakan setelah zaman Hasan al-Bashri, tepatnya oleh Qatadah (w.
117 H/738 M) untuk menyebut Amr bin Ubaid dan para pengikutnya. Amr menyatakan
kepada para pengikutnya, bahwa kata i‘tizâl telah digunakan dalam
al-Quran sebagai sifat yang dipuji oleh Allah sehingga nama ini mereka terima.
Laporan yang terakhir inilah yang diterima oleh sumber Muktazilah, seperti yang
tampak dalam statemen Abd al-Jabbar, dalam An-Nasysyâr, “Setiap
kata al-i‘tizâl yang dinyatakan dalam al-Quran maksudnya adalah
melepaskan diri dari kebatilan sehingga secara pasti dapat diketahui, bahwa
kata al-i‘tizâl ini adalah terpuji (baik).
Ketika pertama kali muncul, aliran Muktazilah
tidak mendapat simpati umat Islam, terutama di kalangan masyarakat awam karena mereka
sulit memahami ajaran-ajaran Muktazilah yang bersifat rasional dan filosofis.
Alasan lain mengapa aliran ini kurang mendapatkan dukungan umat Islam pada saat
itu, karena aliran ini dianggap tidak teguh dan istiqomah pada sunnah
Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Aliran Muktazilah baru mendapatkan tempat,
terutama di kalangan intelektual di Baghdad, ketika abad ke-8 M yaitu khalifah Abbasiyah (198-218
H/813-833 M).[6]
Menurut Prof Tsuryo Kiswali[7]
dalam al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional Dalam Islam, puncak kegiatan
ilmu pengetahuan di dunia Islam bermula sejak jatuhnya Dinasti Umayyah ke
tangan Abasyiah, terjadi penerjemahan buku-buku berbahasa asing, terutama
Yunani kuno ke dalam bahasa Arab.[8]
Lanjut kata Tsuryo, penerjemahan baskah-naskah
asing kedalam Bahasa Arab telah dimulai oleh Khalid bin Yazid, seorang putra
khalifah Dinasti Umayyah. Namun gerakan ini mencapai puncaknya saat
kekhalifahan Abasyiah dipimpin oleh al-Ma’mun putra dari Harun ar-Rasyid.
Dimasa kepemimpinan Harun ar-Rasyid – Harun
ar-Rasyid adalah putra khalifah ketiga dari al-Mahdi bin Abu Ja’far al-Mansur -
khalifah kelima yang berkuasa dari tahun 786 M-809 M[9] –
kekhalifahan Abasyiah mulai stabil secara politik.Khalifah mencurahkan
perhatiannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di dekat gedung
observation Negara.[10] Kegiatan
itu menimbulkan revolusi berpikir bebas (menurut Prof. Tsuryo). Dan
semakin gencar lagi tatkala Ma’mun menjabat khalifah – khalifah ketujuh Dinasti
Umayyah.
Kedudukan Muktazilah semakin kokoh setelah Khalifah
al Ma'mun[11]
menyatakannya sebagai mazhab resmi negara. Hal ini disebabkan karena Khalifah
al Ma'mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan filsafat dan
ilmu pengetahuan.[12] Ia
membiayai seluruh proyek penerjemahan dan juga khalifah al-Ma’mun mengutus
utusan khusus ke Konstantinopel guna mencari buku-buku Filsafat. Pada era ini
aliran teologi Muktazilah semakin mashur karena ia mendukung kebijakan
Pemerintah Abbasyiah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Betapa sayangnya kejayaan dan pesatnya ilmu
pengetahuan di dunia Islam dinodai dengan adanya pemaksaan terhadap penganut
aliran teologis lain.[13] Dan,
pada masa kejayaan itulah karena mendapat dukungan dari penguasa, kelompok ini
memaksakan alirannya yang dikenal dalam sejarah dengan peristiwa Mihnah
(Pengujian atas paham bahwa Alquran itu makhluk Allah, jadi tidak qadim.Jika
Alquran dikatakan qadim, berarti ada yang qadim selain Al-lah, dan ini hukumnya
syirik.
Seorang ulama besar yang sempat menghadapi minhah
dari rezim al-Ma’mun adalah Imam Hanbali. Meski diperiksa dalam tekanan, Imam
Hanbali menyatakan bahwa al-Qur’an bersifat qadim bukan sesuatu yang
bersifat baru. Nyaris saja Imam Hanbali dihukum Mati. Adapun ulama besat juga
yang dihukum mati karena tidak sepaham dengan Muktazilah adalah al-Khuzzai dan
al-Buwaiti.[14]
Pemerintahan al-Ma’mun hanya menjebloskan Imam
Hanbali kedalam penjara karena sang ulama besar itu memiliki masa yang besar.
Jika dihukum mati pihak penguasa mengkhawatirkan terjadi kekacauan.
Dua khalifah sepeninggal-Ma’mun yakni
al-Mu’tasim yang berkuasa 833-842 M, masih menjadikan Muktazilah sebagai mazhab
resmi Negara. Begitu juga al-Wathiq yang berkuasa dari 842-847 M, juga tetap
mengembangkan paham Muktazilah.[15]
Dominasi Muktazilah berkahir pada zaman
al-Mutawakkil, khalifah ke-10 Abbasyiah yang berkuasa pada 847-861 M. berbeda
dengan pendahulunya al-Mutawakkil adalah seorang penganut Sunni atau
Ahlussunnah Wal Jama’ah.Ia lalu membubarkan paham Muktazilah sebagai mazhab
resmi pemerintah Negara. Aliran Sunni mendapat angina segar, para pengikut
Sunni tampil dan bangkit. Sayangnya ketika itu kejayaan Dinasti Abbasyiah mulai
meredup.Hal itu sebagai imbas dari kebijakan khalifah al-Mu’tasim yang
memberikan peluang kepada orang-orang Turki untuk duduk dalam pemerintahan. Periode
ini dikenal sebagai pengaruh Turki pertama dalam khalifah Abbasyiah. Pada zaman
itu khalifah melemah, terjadinya disentegrasi pada wilayah-wilayah kekuasaan
sang adidaya. Aliran Muktazilah belum sepenuhnya terhapus. Pada 945-1055 M,
kekhalifahan Abbasyiah dikendalikan oleh Dinasti Buwaihi, Dinasti ini meski
Syi’ah tapi mendukung aliran Muktazilah, sehingga ilmu pengetahuan sempat
kembali berkembang selama 10 tahun di Baghdad. Namun ketika Dinasti Seljuk
mengendalikan kekuasaan, paham Muktazilah kehilangan peran. Dinasti Seljuk
mengembangkan paham Asy’ariyah.Sejak itulah Muktazilah tergeser dari panggung
peradaban dan akhirnya tenggelam. Paham ini mulai berkembang lagi pada abad
ke-20 M, setelah berbagai karya Muktazilah ditemkan.[16]
BAITUL
HIKMAH DAN PERAN INTELEKTUAL MUKTAZILAH
Era keemasan Islam di Baghdad, pusat
pemerintahan Abbasyiah, ditandai dengan berkembangnya Ilmu Agama, Filsafat, dan
ilmu pengetahuan. Khalifah mendorong para ulama dan sarjana untuk
berlomba-lomba mengkaji ilmu.Dengan tawaran gaji, fasilitas, dan hadiah besar,
para sarjana Islam menerjemahkan berbagai karya-karya ilmiyah dari Yunani,
Persia, Syiria, dan Koptik kedalam Bahasa Arab.[17]
Gerakan penerjemahan itu berlangsung selama 100
tahun. Awalnya dilaksanakan dimasjid-masjid atau di rumah-rumah. Para ulama
mengajar dengan system halaqah (pertemuan), waktu itu beberapa masjid
sudah dilengkapi dengan perpustakaan. Lembaga Pendidikan Dasar Menengah disebut
Kuttab. Kekuatan penuh kebangkitan Timur mulai tampak setelah Baitul
Hikmah yang didirikan khalifah Harun ar-Rasyid sebagai lembaga penerjemah,
berkembang menjadi Perguruan Tinggi, perpustakaan besar itu di desain
khusus.Baitul Hikmah juga biasanya digunakan untuk tempat observation Bintang.
Baitul Hikmah dan Peran Intelektual Muktazilah
yang menganut aliran Muktazilah telah mendorong Baghdad menjadi pusat ilmu
pengetahuan, filsafat, ilmu kesusastraan dan syari’ah Islam diseluruh kerajaan
Islam termasuk dunia. Al-Ma’mun sebagai khalifah yang mendukung aliran Muktazilah
mempercayakan tugas penerjemahan di Baitul Hikmah kepada Yahya bin Abi
al-Mansur, Qusta bin Luqa, Hunain bin Ishaq dan Sabian Sabit bin Qurra.
Ketika al-Ma’mun mendirikan Baitul Hikmah ia
sempat mengirimkan utusan kepada raja Roma, Leo Armenia, untuk mendapatkan
karya-karya ilmiyah Yunani kuno untuk diterjemhkan kedalam Bahasa Arab. Pada
tahap awal para ilmuwan di Baitul Hikmah menerjemahkan karya-karya bidang
kedokteran dan filsafat.
Setelah itu, karya-karya dalam bidang
matematika, dan ilmu bumi mendapat perhatian. Prestasi yang menonjol yang
dihasilkan para sarjana di lembaga itu adalah penemuan susunan peta bumi. Pada
masa itu juga diketahui cara menentukan arah kiblat bagi ummat Islam untuk
melaksanakan shalat.
Ghirah ilmu pengetahuan dan agama di era keemasan
Dinasti Abbasyiah itu telah melahirkan sarjana dan ilmuwan seperti al-Kindi
seorang filsuf muslim. Pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam di
Baghdad turut mewarnai dan berpengaruh terhadap kota-kota lain seperti Cairo,
Basrah, Kufah, Damaskus, Samarkand, Bukhara, serta Khurasan.Para pelajar dating
dari berbagai wilayah ke Baghdad, kemudian mengembangkan pengetahuan di tanah
kelahiran mereka masing-masing.[18]
ALIRAN-ALIRAN
MUKTAZILAH DAN PRINSIPLE MUKTAZILAH
Al-Baghdadi kemudian membagi Muktazilah menjadi
kedua puluh dua aliran:
1.
Washiliyah.
2.
Amrawiyah.
3.
Hudhayliyah.
4.
Nazzamiyyah.
5.
Aswariyah.
6.
Ma‘mariyah.
7.
Iskafiyah.
8.
Ja‘fariyah.
9.
Bisyriyyah.
10. Murdariyyah.
11. Hisyamiyyah.
12. Thumamiyah.
13. Jahiziyah.
14. Khabitiyah.
15. Himariyah.
16. Khayatiyah.
17. Murisiyah.
18. Syahammiyah.
19. Ka‘biyah.
20. Jubba’iyah.
21. Basyamiyah.
22. Shalihiyah.
Dua dari aliran tersebut, menurut al-Baghdadi,
merupakan kelompok ekstrem. Mereka adalah Khabitiyah dan Himariyah.
Adapun dua puluh yang lain adalah Qadariyah murni.
Secara umum, menurut al-Khayyath (w. 298 H),
kelompok tersebut belum layak disebut Muktazilah jika tidak memenuhi lima
prinsip pokok. Lima prinsip pokok tersebut, yang dikenal dengan Ushul
Al-Khamsah, adalah: Tauhîd; Al-‘Adl (keadilan); Al-Wa‘D Wa
Al-Wa‘Îd (janji dan ancaman); Al-Manzilah Baina Al-Manzilataain
(kedudukan di antara dua kedudukan); dan Al-Amr Bi Al-Ma‘Rûf Wa Al-Nahy ‘An
Al-Munkar (amar makruf dan nahi mungkar).
Secara detail, pandangan tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut:
1.
Tauhid: Allah Swt. adalah Zat Yang MahaEsa, Qadîm (Maha
dulu), sementara selain Dia adalah baru (muhdats). Dari sini maka zat
dan sifat Allah harus sama-sama Qadîm, yakni hanya satu b; tidak
terpisah satu sama lain. Sebab, kalau tidak, pasti akan ada dua yang Qadîm,
yaitu zat dan sifat. Padahal, yang Qadîm harus satu, dan itulah Allah.
At-Tauhid
yaitu meyakini
sepenuhnya tentang keesaan Allah Swt. Menurut Muktazilah, Dia merupakan Zat
yang unik dan tidak ada satupun di dunia yang serupa dengan-Nya.Para penganut Muktazilah
menegasikan/menafikan segala sifat yang sering disebut pada Tuhan.
Contoh:
kalau Tuhan mempunyai sifat Maha Mengetahui, dalam pandangan Muktazilah Maha
Mengetahui itu bukan sifat-Nya akan tetapi Zat-Nya. Mengapa demikian karena
Muktazilah menolak adanya sifat Tuhan.[19]
2.
Keadilan: seluruh perbuatan Allah adalah baik dan adil.
Allah tidak akan melakukan perbuatan buruk dan zalim.[20] Karena
itulah, mereka menafikan qadar. Mereka menyatakan bahwa manusia bebas
melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya (hurriyah al-iradah) dan
dia akan bertanggung jawab di hadapan Allah kelak.[21]
Aliran
ini menganggap bahwa rasa sakit dan sakit yang ditimpakan Allah atas orang mukallaf
adalah untuk kepentingan mukallaf itu sendiri.Kalau tidak, dia berarti
telah meninggalkan kewajiban-Nya. Pandangan Allah tentang hamba-Nya mengenai
hal-hal yang berkenaan dengan Agama, tugas, serta kewajiban adalah lebih baik
daripada pandangan mereka sendiri mengenai hal itu.[22]
3.
al-Wa’d Wa al-Wa’id (Janji dan ancaman):
Allah Maha Menepati janji dan ancaman-Nya. Janji berkaitan dengan kebaikan,
seperti pahala dan surga, sedangkan ancaman berkaitan dengan keburukan, seperti
dosa dan neraka.[23]
Meskipun
Allah mampu memasukkan manusia yang berdosa besar kedalam surga dan memasukkan
orang mukmin kedalam neraka, tapi hal ini mustahil karena berlawanan dengan
keadilan-Nya.[24]
4.
Manzilah baina
manzilatain (status di antara dua kedudukan atau posisi
diantara dua posisi): teori ini muncul tatkala perdebatan yang terjadi antara
Hasan Basri dengan Wasil bin Atha mengenai orang yang melakukan dosa besar.
Sang guru mengatakan: orang tersebut di anggap munafik sekaligus fasik bahkan
bias dianggap kafir seharusnya ia dikeluarkan dari komunitas masyarakat muslim.
Namun bagi kelompok Muktazialh orang yang berdosa besar bikan termasuk kafir
dan bukan pula mukmin, melainkan berada di antara keduanya.[25]
Orang yang melakukan dosa besar tidak
boleh disebut Mukmin atau kafir, tetapi fasik. Karena itu, status fasik
merupakan kedudukan ketiga, di luar konteks iman dan kufur.[26]
5. Amar
makruf nahi mungkar: Amar makruf nahi mungkar adalah
kewajiban; masing-masing sesuai dengan kadar kemampuannya; bisa dengan senjata
dan non-fisik. Jika dengan senjata maka di situlah hukum jihad berlaku.
Inilah
beberapa pandangan (maqâlât) yang mereka sepakati.
ULAMA-ULAMA
MUKTAZILAH
Mengenai para tokohnya, antara lain, adalah
Ghaylan ad-Dimasyqi dan Washil bin Atha’. Ghaylan terkenal dengan pandangannya
tentang al-Qadr, sedangkan Washil terkenal dengan pandangannya tentang Al-Manzilah
Baina Al-Manzilataain. Abu Hudhail al-‘Allaf dengan muridnya dan Basyar bin
al-Mu‘tamir terkenal dengan konsepnya mengenai tawallud.[27] Tokoh
lain adalah Abu Ali al-Jubba’i dan al-Khayyath penulis buku al-Intishâr. Tokoh
Muktazilah yang terakhir adalah ‘Abd al-Jabbar, murid Abu Hasyim al-Jubba’i,
anak Ali al-Jubba’i.[28]
Menurut Rosyid Nurul Hakim[29]
para ulama Muktazilah sebagai berikut:
a.
Wasil Bin Atha
Dialah orang
yang meletakkan dasar Muktazilah. Tiga ajaran pokoknya yang dipopulerkan al-Manzila
bainal Manzilatain, paham Qodariah (paham yang diambil dari dua tokoh
aliran Qodariah yaitu Ma’bad dan Ghailan), dan paham peniadaan sifat
Tuhan.Terkecuali paham Qodariah, semuanya masuk menjadi doktrin dasar paham
Muktazilah.
b.
Abu Huzail
al-Allaf
Ia
merupakan filsuf Islam. Pengetahuannya itu memudahkannya untuk menyusun ajaran
Muktazilah yang bersifat filsafat. Diantara karyanya adalah penjabarannya
tentang nafs as-sifat yaitu tentang peniadaan sifat-sifat Tuhan. Sifat
itu justru akan memunculkan banyak kadim, yang pada akhirnya dianggap membawa
kemusyrikan.
c.
An-Nazzam
Ia
adalah tokoh yang sempat melontarkan pendapat terpenting dalam konsep keadilan
Tuhan. Menurut dia, Tuhan itu Maha Adil, dia tidak berkuasa untuk berlaku
zalim. Perbuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak
sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian, selain berpendapat
soal konsep keadilan Tuhan, dia juga mengungkapkan pemikirannya tentang Mukjizat
al-Qur’an yang justru terletak pada kandungannya, bukan pada uslubnya
(gaya bahasa) dan balghahnya (retorikanya).
d.
Mu’ammar bin
Abad
Ia
merupakan pendiri Muktazilah di Baghdad. Pendapatnya yang penting adalah
tentang kepercayaan pada hokum alam.Yaitu, Tuhan hanya menciptakan benda-benda
materi, adapun al-arad (sesuatu yang dating pada benda-benda) adalah
hasil dari hokum alam.Menurut dia sebuah batu dilempar kedalam air, gelombang
yang tercipta adalah hasil dari kejadian itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.
e.
Bisyr
al-Mu’tamir
Ia
adalah tokoh yang mengungkapkan pendapat tentang pertanggungjawaban perbuatan
manusia. Baginya anak kecil tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya
diakhirat kelak karena belum mukallaf. Menurut dia, seseorang yang
berdosa besar lalu bertobat, tetapi melakukan dosa besar lagi, ia akan
mendapatkan siksa ganda di akhirat.
f.
Sumamah bin
Asyras
Ia
merupakan tokoh golongan Muktazilah yang berpendapat bahwa manusia sendirilah
yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya karena dalam dirinya telah tersedia daya
untuk berbuat. Tentang daya akal, ia berkesimpulan bahwa akal manusia sebelum
turunnya wahyu dapat mengetahui adanya Tuhan dan mengetahui perbuatan baik
serta perbuatan buruk. Wahyu turun untuk memberikan konfirmasi.
Selain
beberapa pandangan di atas, hal lain yang paling menonjol adalah penggunaan
akal sehingga muncul kesan seolah-olah Muktazilah adalah kelompok yang mendewakan
akal. Padahal, dalam kasus ini, bisa dikatakan semua ahli kalam menggunakan
akal. Bahkan, dalam kasus ini tidak bisa dipilah lagi, mana Muktazilah,
Jabariah dan Ahlus Sunnah. Inilah secara umum tentang potret Muktazilah sebagai
mazhab akidah.
Dari
sini, jelas bahwa Hizbut Tahrir berbeda dengan Muktazilah. Pertama: dalam konteks
tauhid, khususnya yang terkait dengan sifat dan zat Allah. Hizbut Tahrir
berpandangan, bahwa persoalan sifat dan zat Allah tidak bisa dikatakan satu,
yakni sifat dan zat-Nya adalah sama; atau dikatakan berbeda, yakni sifat dan
zat (mawshûf)-Nya jelas tidak sama, sebagaimana pendapat mazhab
Ahlus Sunnah. Yang benar menurut Hizb, persoalan ini tidak perlu dibahas,
karena masing-masing sama-sama berangkat dari asumsi yang dibangun berdasarkan
logika mantik, bukan fakta yang sesungguhnya, sementara ‘fakta’ tentang
Allah jelas tidak bisa dijangkau oleh akal manusia. Karena itu,
pembahasan tentang zat dan sifat Allah harus dihentikan, dengan kata lain,
tidak perlu dibahas.
Kedua: dalam konteks
keadilan Allah, yang berujung pada Hurriyah Al-Irâdah, Tawallud,
dan sebagainya, Hizbut Tahrir justru telah mampu mendudukkan persoalan tersebut
dengan tepat dan akurat. Pertama-tama, yang harus dijadikan sebagai obyek
pembahasan adalah perbuatan manusia, bukan perbuatan Allah. Setelah itu,
diketahui bahwa perbuatan manusia itu ternyata ada dua: Mujbar (dipaksa)
dan Mukhayyar (tanpa paksaan). Dalam konteks yang pertama, di situlah
wilayah Qadha’ Allah, sedangkan yang kedua tidak. Pada wilayah yang
kedua itulah, manusia bebas menentukan pilihannya, dan karenanya kemudian dia
akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Meski demikian, dalam
konteks yang pertama dan kedua, perbuatan manusia selalu terikat dengan sesuatu
berikut khashiyah-nya, di situlah wilayah Qadar, dalam konteks
Qadha’ dan Qadar, dimana baik dan buruknya bersumber dari Allah.
Ketiga: masalah Manzilah
Baina Manzilatain yang sesungguhnya merupakan kongklusi logika mantik,
dalam logika Hizb, tidak akan pernah ada dan dibahas, karena memang merupakan
sesuatu yang tidak bisa dibahas oleh akal manusia.
Keempat: tentang
pengagungan akal, justru Hizbut Tahrirlah yang mampu merumuskan batasan akal
dengan tepat. Persoalan ini notabene belum mampu dilakukan oleh Muktazilah,
Jabariah maupun Ahlus Sunnah. Akibatnya, mazhab-mazhab tersebut terjebak dalam
perdebatan yang tak berujung, termasuk tentang sifat Allah, serta Qadha’ dan
Qadar.
Dengan
demikian, dari mana logikanya Hizbut Tahrir dikatakan Muktazilah? Jelas tidak ketemu,
sebagaimana tuduhan sejenis yang lain, seperti Hizbut Tahrir adalah Wahabi, dan
sebagainya. Tuduhan seperti ini mencerminkan dua hal sekaligus: kebodohan dan
kejahatan penuduhnya. Dikatakan bodoh, karena jelas dia tidak memahami fakta
Muktazilah dan Hizbut Tahrir. Dikatakan jahat, karena kalau dia memahami fakta
masing-masing kelompok tersebut, maka tujuannya jelas adalah untuk mengaburkan
fakta Hizbut Tahrir, dan menciptakan stigma terhadap Hizbut Tahrir. Tujuannya
supaya Hizbut Tahrir dijauhi dan ditinggalkan oleh simpatisan dan masyarakat
awam, yang kini tengah berjibaku dengannya untuk mewujudkan kembali kehidupan
Islam di tengah-tengah mereka. Artinya, mereka ingin mengeluarkan Hizbut Tahrir
dari pergaulan masyarakat, dikucilkan dan bahkan dimusuhi oleh umat. Itulah
niat jahat mereka.
[2][2].
H. Munawir
Sjadzali, M.A. 1993, Islam Dan Tata Negara – Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Penerbit:
Universitas Indonesia, Hal. 218.
[3].
Ibn Manzhur, Lisân, XI/440.
[6]. Heri Ruslan, Muktazilah
di Era Keemasan Islam dalam Koran Republika, Ahad, 5 Juni 2011.
[7]. Guru Besar
bidang Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya.
[8]. Heri Ruslan, Muktazilah
di Era Keemasan Islamdalam Koran Republika, ahad, 5 Juni 2011.
[9]. Ensiklopedi
Islam, Jakarta 2005, Harun ar-Rasid,
Penerbit: Perpustakaan Nasional RI, Hal. 310.
[10]. Gedung itu
bernama Baitul Hikmah, oleh Prof. Tsuryo disebut Wisma Filsafat.
[11]. Seorang
penganut aliran yang dikembangkan Wasil bin Atha’.
[12]. Ensiklopedi
Islam.
[13]. Heri Ruslan, Muktazilah
di Era Keemasan Islamdalam Koran Republika, ahad, 5 Juni 2011.
[14]. Ibid.
[15]. Ibid.
[16].
Heri Ruslan, Muktazilah
di Era Keemasan Islamdalam Koran Republika, Ahad, 5 Juni 2011.
[17].Heri
Ruslan dan Rosyid Nurul Hakim, Baitul Hikmah dan Peran Intelektual
Muktazilahdalam Koran Republika, Ahad, 5 Juni 2011.
[18]. Ibid.
[19].
Rosyid Nurul
Hakim, Doktrin dan Ajaran Muktazilah dalam Koran Republika, ahad, 5 Juni
2011.
[20].
Abd al-Jabbâr, Syarh al-Ushûl, Hlm.
133.
[22]. Rosyid Nurul
Hakim, Doktrin dan Ajaran Muktazilah dalam Koran Republika, Ahad, 5 Juni
2011.
[24]. Rosyid Nurul
Hakim, Doktrin dan Ajaran Muktazilah dalam Koran Republika, Ahad, 5 Juni
2011.
[26].
Abd al-Jabbar, Syarh al-Ushûl, Hlm.39-140;
al-Khayyath, Al-Intishâr, Hlm. 13.
[27]. Lebih jelas, lihat: ‘Abd al-Jabbar, Syarh,
Hlm. 424; Ibn al-Nadim, Al-Fihrist, Hlm.286-287; al-Asy‘ari, Maqâlât,
II/87-88.
[28]. Keterangan
ini sebagaimana ditulis oleh ‘Adnan Muhammad Zarzur, dosen UniversitasDamaskus,
Syiria, editor buku Mutasyâbih al-Qur’ân, karya ‘Abd al-Jabbar.
Lihat: ‘Abd al-Jabbar, Mutasyâbih, Hlm. 14.
[29]. Rosyid Nurul
Hakim, Para Ulama Muktazilah dalam Koran Republika, Ahad, 5 Juni 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar